
Sanggau, Kalbar.-Mitra Adhyaksa-Terbongkar dibalik pungutan liar atas namakan institusi APH pada Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) kembali menyita perhatian publik, setelah viral pemberitaan mengenai dugaan keterlibatan seorang oknum pensiunan aparat penegak hukum (APH) berinisial MH bersama sejumlah rekannya, yang dituding menjadi koordinator lapangan PETI di wilayah Semerangkai, Kabupaten Sanggau.
Informasi yang dihimpun tim investigasi gabungan awak media pada Jumat 18 April 2025, mengungkap bahwa oknum MH dan kelompoknya yang beranggotakan YS, MJ, dan DN, diduga melakukan pungutan terhadap para pelaku PETI dengan dalih “biaya koordinasi keamanan” sebesar Rp33 juta per unit lanting tambang emas. Biaya tersebut disebut-sebut sebagai bentuk setoran kepada oknum aparat penegak hukum di wilayah Sanggau agar aktivitas PETI dapat berjalan tanpa gangguan.
“Saya dan beberapa pekerja lainnya diminta setor Rp33 juta untuk bisa kerja di Semerangkai. Kata mereka, itu untuk jaminan keamanan dan sudah dikoordinasikan ke atas. Tapi kalau terjadi gangguan, uangnya hangus dan tidak ada jaminan,” ujar seorang pekerja tambang yang enggan menyebutkan identitasnya.
Narasi serupa juga disampaikan oleh beberapa pekerja lainnya. Mereka mengaku pertama kali diajak bekerja oleh oknum MH dan YS, yang memperkenalkan diri sebagai pensiunan anggota institusi penegak hukum, dan menjanjikan “izin lapangan” dengan syarat menyetor biaya koordinasi tersebut.
“MH bilang langsung bahwa ini sudah diatur, sudah ada koordinasi. Uangnya untuk pengamanan dari atas. Tapi ya begitu, mereka juga nggak bisa jamin aman betulan,” tambah narasumber lain.
Tim media gabungan terus menelusuri identitas MH dan jaringan yang terlibat, termasuk latar belakang institusi tempat MH pernah berdinas. Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian setempat, namun publik mendesak agar para pelaku yang terlibat segera ditindak tegas.
Warga Semerangkai dan aktivis media meminta Kapolres Sanggau bersama jajaran aparat terkait untuk segera mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan nama institusi ini, terlebih jika terbukti oknum pensiunan tersebut menjual nama APH untuk memuluskan praktik ilegal.
“Jika benar MH dan kelompoknya menjual nama institusi untuk melindungi PETI, maka ini bukan hanya persoalan disiplin, tapi pidana. Tidak bisa dibiarkan,” ujar salah satu tokoh masyarakat Semerangkai.
Merespons kasus ini, Pengamat Energi dan Pertambangan, Ahmad Redi, menegaskan bahwa aktivitas PETI merupakan tindak pidana berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi dari pemerintah, baik itu IUP, IUPK, maupun izin lainnya, dapat dipidana penjara dan denda. Ini harus ditegakkan, karena PETI merusak lingkungan, merugikan negara, dan membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan,” kata Ahmad Redi saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Sementara itu, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menilai bahwa persoalan PETI tidak bisa hanya ditangani melalui penindakan represif. Ia menekankan pentingnya pembentukan satuan tugas lintas sektor yang terkoordinasi.
“Jika benar ada oknum yang mencatut nama institusi untuk menjamin keamanan aktivitas ilegal, maka itu jelas merupakan tindak pidana yang harus ditindak tegas,” ujarnya. “Pemerintah perlu membentuk Satgas Penanggulangan PETI yang tidak hanya berfungsi represif, tetapi juga mengedepankan pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan ketat,” imbuhnya.
Mengingat eskalasi kasus ini telah menarik perhatian luas dan mencoreng nama institusi, awak media dan masyarakat mendesak Kapolri agar segera memerintahkan Kapolda Kalbar dan Kapolres Sanggau untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang dan jual beli perlindungan hukum dalam praktik tambang ilegal di Semerangkai.
“Jika terbukti ada bekingan di balik PETI ini, kami minta segera ditangkap. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap institusi,” tegas salah satu perwakilan warga.
Sumber: Pengamat Lingkungan Hidup,Pakar Hukum dan tim liputan ivestigasi gabunagn Media