
Oleh: Apriyan Sucipto, S.H., M.H.
(Pemerhati Lingkungan Hidup)
Mitra Adhyaksa- HUTAN adalah nafas terakhir yang kita miliki. Ia adalah nadi kehidupan yang diam-diam terus memberi, meski sering dilukai. Namun, luka paling perih bukan datang dari orang asing, melainkan dari mereka yang seharusnya menjaga para pemimpin, para pengemban amanat rakyat.
Nama Sutikno, Wakil Ketua DPRD Lampung Barat, kini ramai diperbincangkan. Bukan karena prestasinya, bukan karena ketegasannya membela rakyat melainkan karena dugaan keterlibatannya dalam alih fungsi lahan serta penggunaan alat berat secara ilegal di kawasan hutan Lindung dan Swakamargasatwa Tuduhan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengkhianatan moral yang dalam terhadap rakyat, terhadap konstitusi, terhadap Ibu Pertiwi.
Hutan bukan sekadar hamparan hijau di peta. Ia adalah rumah bagi jutaan makhluk hidup, penjaga keseimbangan ekosistem, dan penyangga kehidupan generasi mendatang. Dalam konteks lokal, hutan Lampung Barat adalah penjaga udara, air, dan warisan alam kita. Maka, ketika seorang pejabat publik apalagi Wakil Ketua DPRD diduga terlibat dalam perusakan hutan, itu bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi sebuah tragedi demokrasi.
Sutikno, sebagai pejabat publik, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan. Ia diberi mandat bukan untuk menikmati kekuasaan, tetapi untuk menjaga amanat rakyat. Ia bukan hanya pembuat kebijakan, tetapi juga pengawas moral dan pelindung alam.
Namun kenyataannya, nama beliau justru mencuat dalam dugaan kejahatan lingkungan. Ini bukan sekadar ironi, ini adalah luka. Luka pada kepercayaan publik, luka pada integritas wakil rakyat, luka pada hati nurani bangsa.
Bila benar keterlibatan itu terbukti, maka kita tak boleh tinggal diam. Tidak boleh ada ruang aman bagi siapa pun yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dengan cara merusak lingkungan. Hutan yang rusak tak bisa tumbuh kembali dalam semalam, tapi keadilan yang ditegakkan hari ini bisa menyelamatkan ribuan pohon esok hari.
Sanksi etik, pemberhentian jabatan, hingga pencabutan status sebagai anggota DPRD harus menjadi pilihan. Sebab lembaga legislatif adalah pilar demokrasi, bukan tempat berlindungnya para pelanggar hukum.
Kita butuh keberanian. Keberanian untuk berkata benar, meski pahit. Kita butuh integritas, karena tanpa integritas, jabatan hanyalah topeng. Dan kita butuh cinta—cinta pda tanah kelahiran ini. Cinta yang tak rela melihat hutan dibelah, air mengering, dan bumi tercabik-cabik demi ambisi pribadi.
Ini bukan sekadar persoalan hukum. Ini soal masa depan. Soal anak cucu yang kelak akan bertanya Apa yang kalian lakukan saat hutan kami dirusak oleh pemimpin kalian sendiri?
Maka mari bersuara. Suara rakyat tak boleh bungkam. Kita bukan musuh para pemimpin, tapi kita musuh bagi setiap pengkhianat amanat. Dan bila ada satu pejabat saja yang menggunakan kekuasaan untuk merusak alam, maka sejatinya ia telah meletakkan dirinya sebagai musuh bangsa.
Hutan adalah titipan. Dan dalam setiap tetes embun pagi, dalam desir angin yang melewati dedaunan, ada doa-doa yang tak terdengar doa dari akar yng mencengkeram bumi, dari ranting yang menjulang ke langit, dari tanah yang berharap dijaga.
Wakil rakyat seharusnya menjadi penjaga doa itu. Bukan perusaknya.
Jika hukum tak bertindak, maka suara rakyat harus bergema. Sebab negeri ini tak kekurangan hati yang peduli. Hanya saja, kadang yang bersuara justru mereka yang lupa hati.
Mari kita jaga hutan. Mari kita jaga kepercayaan. Mari kita jaga Indonesia. (*)