Sulsel -Mitra Adhyaksa- Tim Black Horse Unit Reskrim Polsek Pallangga meringkus pria berinisial DD karena menggadaikan motor dan handphone milik temannya sendiri akibat kalah judi sabung ayam. Kini pelaku telah mendekam di sel tahanan Mapolsek Pallangga, Sabtu (14/6/2025).
Tim Black Horse Unit Reskrim Polsek Pallangga meringkus pria berinisial DD/ karena menggadaikan motor dan handphone milik temannya sendiri akibat kalah judi sabung ayam.
DD ditangkap polisi setelah buron selama tiga bulan.
Penangkapan dilakukan di sebuah rumah di Jalan Abu Bakar Lambogo, Kota Makassar.
Sebelum ditangkap, polisi telah terlebih dahulu memantau dan mengepung rumah tersebut.
Pelaku itu pun ditangkap tanpa perlawanan. Kanit Reskrim Polsek Pallangga, Ipda Syamsuar, mengatakan pelaku ditangkap atas dasar laporan korban tentang tindak pidana penggelapan
Polisi lalu menyelidiki dan mendapatkan informasi keberadaan pelaku di sebuah rumah di Jl Abu Bakar Lambogo, Makassar.
“Setelah dilakukan serangkaian penyelidikan, kami berhasil menangkap pelaku penggelapan,” katanya, Sabtu (15 /6/2025)
Ipda Syamsuar menyebut, modus pelaku dengan cara meminjam kendaraan dan handphone korban lalu digadaikan.
Pelaku disebut menggadaikan barang tersebut sekira Rp 2,5 juta. Sedangkan, handphone digadaikan senilai Rp 900 ribu.
“Modusnya meminjam kendaraan dan handphone korban lalu digadaikan,” katanya.
Hasil interogasi, uang hasil gadai barang tersebut dipakai untuk judi sabung ayam.
“Pelaku menggadaikan barang korban Rp 2,5 juta dan ternyata digunakan untuk perjudian sabung ayam dan untuk kebutuhan sehari-hari karena kalah judi sabung ayam,” pungkasnya
Tim/ Sergap7
[15/6 22.46] Ridwan Maulana: UKW Gertak Dinas, Klarifikasi Jadi Proposal
BATAM,
Forum bertajuk Klarifikasi Pers yang digelar di Swiss-Belhotel Harbour Bay, Sabtu 14 Juni 2025, berakhir ricuh. Ketua PWI Batam, M. Khafi Ashary, dikeroyok hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Kekerasan terjadi setelah Khafi menyampaikan pernyataan keras soal pentingnya integritas dan sertifikasi dalam praktik jurnalistik.
Menanggapi insiden tersebut, pemantau pers nasional Ery Iskandar pada Minggu, 15 Juni 2025, mengungkapkan bahwa kerusakan dalam tubuh pers bukan soal siapa yang sudah atau belum UKW, melainkan soal mentalitas dan hilangnya etika profesi.
“Premanisme dalam pers bukan karena tak punya UKW. Justru banyak yang pegang kartu UKW tapi mentalnya preman. Yang hilang itu bukan legalitas, tapi kesadaran mengamalkan Kode Etik Jurnalistik,” ujar Ery.
Menurut Ery, kartu UKW yang semestinya menjadi bukti kompetensi, kini malah berubah menjadi alat legitimasi untuk menekan dinas, perusahaan, dan lembaga publik—dengan modus permintaan iklan, proposal bantuan, bahkan paket proyek.
“UKW dijadikan stempel palsu untuk melegalkan pemalakan. Mereka bawa label pers, tapi kerja layaknya debt collector,” tegasnya.
Ia menambahkan, para pemegang UKW juga sering merendahkan wartawan non-UKW. “Seolah setelah UKW, mereka bukan manusia biasa lagi. Padahal, perilakunya tak pernah berubah. Bahkan sibuk jualan UKW demi dapat jatah, sambil terus menuding yang belum UKW tak pantas jadi wartawan. Ini penyakit struktural,” kata Ery.
Ironisnya, lanjutnya, saat perilaku itu dikritik, mereka justru gampang tersinggung, merasa dicemarkan, bahkan melapor ke aparat. “Padahal semua tahu kelakuan sehari-harinya. Kalau merasa difitnah, ayo buka data: siapa yang minta proyek, siapa yang hidup dari proposal, siapa yang teriak wartawan tapi kerjaannya cuma gentayangan,” ujarnya.
Seorang pejabat daerah juga mengakui bahwa tekanan semacam itu sering terjadi. “Kadang saat telpon tidak diangkat, sudah ribut. Besoknya muncul berita macam-macam, seolah kami tak mendukung pers. Padahal, setelah mencair anggaran, datang lagi minta diperhatikan. Dari klarifikasi berubah jadi urusan periuk nasi,” ucapnya.
PWI Kepri menyatakan akan menempuh jalur hukum atas pengeroyokan terhadap ketuanya. Namun di balik insiden ini, publik mulai menyoroti akar masalah yang lebih dalam: menjamurnya media tanpa kode etik, wartawan tanpa nurani, dan praktik pers yang berubah menjadi alat pemerasan terselubung.
“Bukan kartu yang menyelamatkan pers,” tutup Ery Iskandar.
“Yang bisa menyelamatkan hanyalah kesadaran, keberanian menolak sogokan, dan keteguhan menjaga martabat profesi,”pungkasnya. (red/Hs)
