Jakarta (Mitra Adhyaksa) — Ketua Umum Cakra Surya Manggala (CSM), Dr. Mujizat Tegar Sedayu, SH., MH., IFHGAS, menanggapi keras pernyataan sejumlah legislator yang menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024 sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap masyarakat hutan. Tegar menegaskan, pernyataan itu tidak berdasarkan data lapangan dan justru berpotensi menjadi pembenaran terselubung terhadap perusakan hutan yang kian meluas.(21/10/2025)

“Bicara tanpa data dan melihat kondisi hutan. Faktanya, hutan Indonesia hampir punah karena pengrusakan dan alih fungsi kawasan yang terjadi di berbagai wilayah. Kami tidak bilang putusan MK itu salah, putusan itu benar, tapi harus diperjelas dulu. Siapa yang dimaksud masyarakat turun-temurun itu? Penilaian non-komersialnya seperti apa? Dan kriteria hutan mana yang boleh dimanfaatkan masyarakat?” tegas Tegar di Jakarta, Senin (21/10/2025).
Menurutnya, tidak ada satu pun peraturan yang membenarkan aktivitas ekonomi di kawasan konservasi, bahkan dengan dalih sosial sekalipun. “Kawasan konservasi dilindungi tegas oleh UU RI No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tidak ada ruang kompromi untuk merusak kawasan itu. Kalau ada yang mengatasnamakan masyarakat adat untuk berkebun di dalamnya, itu manipulasi!” ujarnya lantang.
Tegar menegaskan bahwa objek hukum yang diuji MK sebetulnya terkait UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, bukan UU RI No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sehingga penerapannya tidak serta merta berlaku pada seluruh kawasan hutan, terutama kawasan konservasi.
“Kalau tafsirnya dibebaskan, ini bisa menjadi celah legalisasi baru bagi mafia hutan. Pemerintah, DPR RI , dan Kementerian Kehutanan RI jangan cuma duduk di kantor. Turun ke lapangan! Lihat kondisi nyata di hutan berapa luas yang tersisa dan berapa yang sudah berubah fungsi,” tegasnya.
Tegar menyoroti lemahnya pengawasan dan keberpihakan pemerintah terhadap fakta lapangan. Ia mendesak agar pemerintah tidak hanya percaya pada laporan pemangku kebijakan, melainkan melibatkan aparat penegak hukum dalam pengawasan hutan di daerah-daerah yang masih memiliki kawasan alami.
“Pemerintah jangan percaya begitu saja pada laporan di meja. Semua pihak harus bicara dengan data, bukan asal bunyi. Legislator juga jangan hanya rapat di ruangan ber-AC. Turun ke hutan, lihat berapa luas yang rusak dan berapa yang berubah fungsi!” ujarnya tajam.
Cakra Surya Manggala, kata Tegar, telah melakukan survei di berbagai daerah dan menemukan fakta yang sangat memprihatinkan. “Selama ini belum ada niat baik masyarakat untuk benar-benar menjaga atau melestarikan hutan. Kalau ada, coba tunjukkan di mana? Yang kami temukan justru sebaliknya perubahan besar-besaran dari kawasan hutan menjadi lahan tanaman lain, bahkan kebun komersial, di dalam kawasan hutan itu sendiri!”
Ia menyebut sejumlah lokasi yang mengalami kerusakan parah, antara lain kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung Barat, Suaka Margasatwa (SM) Gunung Raja di Sumatera Selatan, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), SM Balai Raja, hingga pusat pelatihan gajah Muara Basung.
“Semuanya berubah total! Pelakunya masih tersenyum menikmati hasil, sementara satwa-satwa menangis kehilangan habitatnya. Ini tragedi ekologis dan moral bangsa,” ungkap Tegar dengan nada marah.
Cakra Surya Manggala mendesak Satgas Penegakan Hukum (Satgas PKH) agar segera turun tangan dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam pengrusakan hutan konservasi tersebut.
“Kami minta Satgas PKH segera bertindak. Di kawasan konservasi itu sudah berdiri plang sitaan Satgas, tapi faktanya aktivitas masih jalan terus. Ada apa ini?” tegasnya.
Lebih jauh, Cakra Surya Manggala juga meminta agar seluruh mantan Menteri Kehutanan diperiksa terkait pertanggungjawaban penggunaan APBN dalam pengelolaan kawasan hutan, karena diduga kuat ada indikasi penyimpangan dan potensi korupsi.
“Kami khawatir ada indikasi kuat dugaan korupsi dalam pengelolaan dana kehutanan. Jangan sampai uang negara habis, tapi hutan lenyap. Harapan kami, di era Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Indonesia benar-benar bersih dari korupsi dan pengkhianatan terhadap lingkungan,” ujar Tegar.
Tegar juga menyinggung ironi di tengah kehancuran hutan Indonesia. Ia menilai aneh dan memalukan ketika Menteri Kehutanan justru mendapat apresiasi dari organisasi lingkungan seperti WWF, sementara di lapangan kerusakan hutan kian masif dan tidak terkendali.
“Lucunya lagi, Menteri Kehutanan malah dapat penghargaan dari WWF karena dianggap berprestasi, padahal kondisi hutan di Indonesia sudah kritis! Apa dasarnya apresiasi itu? Jangan-jangan penilaian hanya berdasar presentasi di ruang rapat, bukan fakta di lapangan,” katanya sinis.
Menurutnya, penghargaan semacam itu justru mencederai akal sehat publik dan memperlemah moral perjuangan lingkungan.
“Ini bukan soal pencitraan. Ini soal nyawa ekosistem bangsa. Kalau kita terus menutup mata, 10 tahun lagi Indonesia hanya tinggal nama tanpa hutan,” pungkas Tegar.
( Red )
